STUDY ISLAM


Studi Islam (Islamic Studies) dapat diartikan usaha untuk mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan Islam. Dapat pula diartikan sebagai “usaha sadar dan sistematis yang dilakukan untuk mengetahui, memahami serta membahas secara mendalam seluk-beluk Islam, baik ajaran, sejarah, maupun praktek nyata dalam kehidupan sehari-hari di sepanjang sejarahnya”.
Usaha ini ternyata bukan hanya dilakukan oleh umat Islam saja, penganut agama lainnya pun mengikuti studi keIslaman. Hanya saja tujuannya berbeda, bagi umat Islam sendiri melaksanakan studi keIslaman bertujuan untuk mendalami hal-hal yang berhubungan dengan Islam dan mengamalkannya dengan benar. Sedangkan non Islam bertujuan untuk mempelajari Islam dan prakteknya di kalangan umat Islam, sebatas untuk ilmu pengetahuan.
Alasan adanya studi Islam (Islamic Studies) karena pada kenyataannya umat Islam bahkan ulamanya pun kebanyakan hanya mengetahui Islam sebatas penilaian subjektif atau doktrin dari para pendahulunya.
Sumber : http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-makalah-tentang/study-islam-diberbagai-negara

"Agama dan Kekerasan dalam Transisi Demokrasi di Indonesia"


“Realitas Agama pada Transisi Demokrasi yang mengacu pada fenomena-fenomena kekerasan di Indonesia

Judul Buku : Agama dan Kekerasan dalam Transisi Demokrasi di Indonesia

Penulis : Haqqul Yaqin

Penerbit : eLSAQ Press

Cetakan : pertama pada Agustus 2009

Tebal Buku : (x+196) halaman

Harga Buku : Rp. 20.000,-

Masa transisi adalah masa dimana keadaan di suatu pemerintahan dalam kondisi tidak menentu, disini yang dimaksud penulis adalah kondisi di Indonesia. Dalam kondisi serba tidak menentu itulah, agama yang seharusnya merupakan juru kedamaian, tiba-tiba muncul sebagai bagian dari fenomena-fenomena kekerasan yang terjadi di tanah air.

Pada dasarnya, semua agama adalah sama yaitu mengajarkan kepada umatnya untuk melakukan kebaikan. Semua agama menolak kekerasan bahkan mengutuk segala jenis kekerasan. Hanya saja karena kurang tepatnya melihat agama dari aspek kegunaannya (utility) serta penyimpangan dari aspek-aspek lainnya yang menyebabkan terjadinya tindak kekerasan massal di Indonesia.

Dalam buku ini, penulis memunculkan berbagai fakta serta beberapa argumen dari para ahli yang tercantum di beberapa buku membahas tentang perjalanan agama sebagai kepercayaan bagi para pemeluknya hingga peranan agama dalam demokrasi pemerintahan di Indonesia mulai dari momen awal kemerdekaan hingga pemerintahan reformasi.

Demokrasi sebagai sistem politik yang memiliki nilai-nilai universal, mengalami masa-masa fluktuasi di Indonesia. Momentum proklamasi 17 Agustus 1945 yang seharusnya menjadi tonggak bagi rakyat Indonesia untuk bebas dari keterbelengguannya dari penjajah. Namun dalam penerapannya demokrasi terpimpin di bawah Soekarno tidak jauh berbeda dengan saat berada di bawah kuasa kolonial. Kemudian Orde Lama runtuh dan digantikan oleh lahirnya Orde Baru sebagai momentum kedua. Dengan adanya pergantian ini diharapkan dapat menata diri bangsa Indonesia untuk memperbaiki kesalahan yang telah dilakukan orde sebelumnya. Namun momentum kedua ini pun tidak dapat berfungsi maksimal. Semangat awal yang mendasarkan diri pada ideologi Pancasila berubah menjadi bentuk penindasan terhadap rakyat dengan cara mereduksi hakikat kebebasan yang dimiliki rakyat baik secara ekonomi, politik, hukum dan budaya.

Era reformasi yang menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru merupakan momentum ketiga yang saat ini dimiliki bangsa Indonesia. Namun momen ini pun belum dapat menjadi salah satu model demokrasi ideal. Di masa transisi dari Orde Baru ke Era Reformasi, agama justru menjadi pemicu tindak kekerasan. Pada masa Orde Baru, kekerasan agama merupakan bagian dari kebijakan politik. Sehingga pada masa transisi ini, kekerasan agama menjadi fenomena yang complicatied. Kekerasan yang muncul tidak lagi hanya murni sebagai persoalan agama.

Secara garis besar, penulis ingin menyampaikan aspirasinya tentang penyebab kekerasan yang muncul pada masa transisi Orde Baru - Era Reformasi merupakan imbas dari kebijakan-kebijakan pemerintah sebelumnya (Orde Baru) yang menyebabkan masyarakat tertindas secara ekonomi, politik, budaya dan agamanya sendiri. Dan penulis mengharapkan agar tatanan demokrasi di Indonesia dapat berjalan sebagaimana mestinya sehingga dapat terciptanya Masyarakat Madani.

Apakah anemia karena kekurangan vitamin C itu?


Anemia karena kekurangan vitamin C adalah sejenis anemia yang jarang terjadi, yang disebabkan oleh kekurangan vitamin C pada jangka waktu yang lama. Vitamin C dapat ditemui pada buah yang berwarna orange dan merah serta sayuran hijau. Pada anemia ini, sumsum tulang menghasilkan sel darah merah yang kecil.

Gejala yang terjadi pada penderita anemia: lelah, kurang bertenaga, sesak napas serta gejala lainnya. Sedangkan pada anemia karena kekurangan vitamin C bisa menyebabkan scurvy (penyakit gangguan pada kulit sejenis kudis).

Untuk mengobati serta mencegahnya, dengan cara mengkonsumsi suplemen vitamin C dan menamah asupan vitamin C dalam menu makanan sehari-hari.

sumber : medicastore.com

Apakah anemia karena kekurangan vitamin B12 itu?


Anemia karena kekurangan vitamin B12 (anemia pernisiosa) adalah sejenis anemia megaloblastik disebabkan oleh kekurangan vitamin B12 atau asam folat. Pada anemia jenis ini, sumsum tulang menghasilkan sel darah merah yang besar dan abnormal (megaloblas). Sel darah putih dan trombosit juga biasanya abnormal.

Anemia megaloblastik paling sering disebabkan oleh kekurangan vitamin B12 dan asam folat dalam makanan atau ketidakmampuan untuk menyerap vitamin tersebut. Kadang anemia ini disebabkan oleh obat-obat tertentu yang digunakan untuk mengobati kanker (misalnya metotreksat, hidroksiurea, fluorourasil dan sitarabin).

Penyebab lainnya :

  1. pertumbuhan bakteri abnormal dalam usus halus yang menghalangi penyerapan vitamin B12
  2. penyakit tertentu (misalnya penyakit Crohn)
  3. pengangkatan lambung atau sebagian dari usus halus dimana vitamin B12 diserap
  4. vegetarian

Selain mengurangi pembentukan sel darah merah, kekurangan vitamin B12 juga mempengaruhi sistem saraf dan menyebabkan :

  1. kesemutan di tangan dan kaki
  2. hilangnya rasa di tungkai, kaki dan tangan
  3. pergerakan yang kaku

Gejala lain yang terjadi :

  1. buta warna tertentu, termasuk warna kuning dan biru
  2. luka terbuka di lidah atau lidah seperti terbakar
  3. penurunan berat badan
  4. warna kulit menjadi lebih gelap
  5. linglung
  6. depresi
  7. penurunan fungsi intelektual

Untuk mengobati kekurangan vitamin B12 atau anemia pernisiosa adalah pemberian vitamin B12. Sebagian besar penderita tidak dapat menyerap vitamin B12 per-oral (ditelan), karena itu diberikan melalui suntikan. Penderita harus mengkonsumsi tambahan vitamin B12 sepanjang hidupnya

Untuk mencegahnya, dengan cara mengkonsumsi suplemen vitamin B12 dan menerapkan pola hidup seimbang.

sumber : medicastore.com

Sekilas tentang anemia


Apa yang dimaksud dengan anemia?

Anemia adalah keadaan dimana jumlah sel darah merah atau jumlah hemoglobin (protein pembawa oksigen) dalam sel darah merah berada di bawah normal. Anemia menyebabkan turunnya kadar sel darh merah (hemoglobin) dalam darah.

Tingkat Hb dapat diukur pada pemeriksaan darah lengkap. Secara keseluruhan, wanita mempunyai tingkat Hb lebih rendah dibandingkan pria. Begitu juga orang yang tua atau masih muda.

Gejala-gejala anemia, yaitu : merasa cepat lelah, pusing, bahkan terkadang sesak napas.

Apa penyebab anemia itu?

  1. Kekurangan zat besi, vitamin B12 atau asam folat (anemia pernisiosa), dan vitamin C.
  2. Kerusakan pada sumsum tulang atau ginjal
  3. Kehilangan darah akibat pendarahan dalam atau siklus haid pada wanita
  4. Penghancuran sel darah merah (anemia hemolitik)

Bagaimana pengobatan anemia?

Mengobati anemia bergantung pada penyebabnya.

Untuk mencegah anemia, dapat dengan mengkonsumsi suplemen zat besi, makanan yang bergizi, dan vitamin C serta istirahat yang cukup.

Asal-usul Tempe


Bagi anak-anak muda sekarang mungkin tempe dianggap makanan yang sudah kuno, tak berhargs dan lebih tertarik dengan makanan-makanan yang berbau modern dan Barat seperti Kraby Patty kalau di film Spongebob. Namun tidak demikian dengan William Shurtleff, penulis buku The Book of Tempeh. Ia menyebut tempe sebagai "A Super Soyfood from Indonesia". Hal ini dikarenakan tempe mempunyai manfaat tak tertandingi bagi kesehatan.

Penelusuran asal-usul tempe cukup sulit karena menghadapi beberapa kendala, diantaranya karena faktor tulisan dan bahasa. Tulisan Jawa Kuno sudah hampir punah dan bahasa Jawa Kuno nyaris berubah menjadi bahasa Jawa Baru.

Dalam buku Bunga Rampai Tempe Indonesia, Mary Astuti, seorang pakar tempe dari Universitas Gajah Mada menuliskan asal-usul kedelai dan tempe berdasarkan hasil penelusuran dokumen yang ada. Menurutnya (dari dua buah kamus), kedelai berasal dari bahasa Tamil (India Selatan) yang berarti kacang kedelai (mung bean, soybean).
Berdasarkan catatan para pedagang Cina yang datang ke Jawa pada zaman Dinasti Sung (abad X), pulau Jawa merupakan daerah pertanian yang subur dengan hasil pertanian berupa padi, rami, dan polong-polongan, tetapi tidak terdapat gandum (Groenevelt, 1960). Para pedagang Cina yang berdagang dengan orang Jawa memberikan informasi (sekitar abad XXI) bahwa barang-barang dagangan dari Jawa adalah kapuk, buah pinang, pala, fuli, cengke, gambir, nangka, dan pisang. Sebaliknya, dari Cina diimpor boraks, sutera, dan aluminium. Kedelai tidak disebutkan dalam daftar komoditas impor Cina tersebut, suatu bukti bahwa kedelai belum diperhatikan dan dibudidayakan di negeri Cina.

Mary Astuti menulis bahwa dalam pustaka Serat Sri Tanjung (sekitar abad XII dan XIII) yang bercerita mengenai Dewi Sri Tanjung, terselip kata kedelai yang ditulis sebagai kadele. Salah satu baitnya menggambarkan jenis tanaman di Sidapaksa yang mengandung kata kedelai, kacang wilis, dan kacang luhur.

Kata kedelai tidak hanya ditemui dalam Serat Sri tanjung, tetapi juga dalam Serat Centhini. Oleh penulisnya, Serat Centhini disebut Suluk Tambangraras. Pada Serat Centhini, kata kedelai terdapat pada jilid II, sedangkan kata tempe terdapat pada jilid III. Serat Centhini jilid III tersebut menggambarkan perjalanan Mas Cebolang dari Candi Prambanan menuju Pajang dan mampir di Tembayat, Kabupaten Klaten. Di sana, Pangeran Bayat dijamu dengan lauk-pauk seadaanya, termasuk tempe.

Dalam The Book of Tempeh Dr. Sastroamijoyo memperkirakan bahwa tempe sudah ada lebih dari 2.000 tahun yang lalu. Saat itu bangsa Cina membuat makanan dari kedelai yang hampir mirip tempe, yaitu koji (sejenis kecap). Makanan tersebut terbuat dari kacang kedelai matang yang diinokulasi dengan Aspergillus oryzae. Metode inokulasi ini kemudian dibawa para pedagang Cina ke Pulau Jawa dan dimodifikasi agar sesuai dengan selera orang Jawa. Modifikasi dilakukan dengan mengganti Aspergillus oryzae dengan Rhizopus yang sesuai dengan iklim Jawa.

Pada zaman Jawa kuno, terdapat makanan yang dibuat dari sagu, disebut tumpi (Zoetmulder, 1982). Oleh sebab tempe juga berwarna putih dan penampakannya mirip tumpi maka makanan olahan kedelai ini disebut tempe.

Penemuan-penemuan tersebut sudah merupakan bukti yang cukup untuk memastikan bahwa tempe berasal dari Jawa. Tempe merupakan ciptaan dan menjadi budaya orang Jawa. Penyebaran tempe saat ini sudah berkembang di seluruh tanah air dan tidak terlepas dari ciri-ciri dan budaya Jawa itu sendiri.

Ayo kita makan Tempe!!!


Sumber: Dra. Emma S. Wirakusumah, MSC, Tempe Makanan "Super" Asli Indonesia (Jakarta: Penebar Swadaya, 5-7).

Masalah lama akan dampak televisi


Permasalahan lama yang kembali menjadi perbincangan hangat masyarakat akhir-akhir ini yaitu, televisi. Ada apa dengan televisi? Masyarakat cukup diresahkan dengan tayangan-tayangan pertelevisian Indonesia. Pasalnya, banyak tayangan yang cenderung mengarah pada tayangan berbau kekerasan (sadisme), pornografi, mistik, dan kemewahan (hedonisme). Tayangan-tayangan tersebut lebih mementingkan rating tanpa memperhatikan dampak bagi pemirsanya. Kegelisahan itu semakin bertambah karena tayangan-tayangan tersebut dengan mudah bisa dikonsumsi oleh anak-anak.

Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, mencatat, rata-rata anak usia Sekolah Dasar menonton televisi antara 30 hingga 35 jam setiap minggu. Artinya pada hari-hari biasa mereka menonton tayangan televisi lebih dari 4 hingga 5 jam sehari. Sementara di hari Minggu bisa 7 sampai 8 jam. Jika rata-rata 4 jam sehari, berarti setahun sekitar 1.400 jam, atau 18.000 jam sampai seorang anak lulus SLTA. Padahal waktu yang dilewatkan anak-anak mulai dari TK sampai SLTA hanya 13.000 jam. Ini berarti anak-anak meluangkan lebih banyak waktu untuk menonton televisi daripada untuk kegiatan apa pun, kecuali tidur (Pikiran Rakyat, 29 April 2004).

Sementara itu sebuah penelitian di Texas, Amerika Serikat, yang dilakukan selama lebih dari tiga tahun terhadap 200 anak usia 2-7 tahun menemukan bahwa anak-anak yang banyak menonton program hiburan dan kartun terbukti memperoleh nilai yang lebih rendah dibanding anak yang sedikit saja menghabiskan waktunya untuk menonton tayangan yang sama (KCM, 11/08/2005). Dua survei itu sebenarnya bisa jadi pelajaran.

Namun di Indonesia suguhan tayangan kekerasan dan kriminal seperti Patroli, Buser, TKP dan sebagainya, tetap saja dengan mudah bisa ditonton oleh anak-anak. Demikian pula tayangan yang berbau pornografi dan pornoaksi. Persoalan gaya hidup dan kemewahan juga patut dikritisi. Banyak sinetron yang menampilkan kehidupan yang serba glamour. Tanpa bekerja orang bisa hidup mewah. Anak-anak sekolahan dengan dandanan yang "aneh-aneh" tidak mencerminkan sebagai seorang pelajar justru dipajang sebagai pemikat. Sikap terhadap guru, orangtua, maupun sesama teman juga sangat tidak mendidik.

Dikhawatirkan anak-anak meniru gaya, sikap, serta apa yang mereka lihat di sinetron-sinetron yang berlimpah kemewahan itu. Memang televisi bisa berdampak kurang baik bagi anak, namun melarang anak sama sekali untuk menonton televisi juga kurang baik. Yang lebih bijaksana adalah mengontrol tayangan televisi bagi anak-anak. Setidaknya memberikan pemahaman kepada anak mana yang bisa mereka tonton dan mana yang tidak boleh. Orang tua perlu mendampingi anak-anaknya saat menonton televisi. Memberikan berbagai pemahaman kepada anak-anak tentang suatu tayangan yang sedang disaksikan.

Perlu dipahami bahwa tempat pendidikan paling utama adalah di keluarga, dimana orangtua adalah yang paling bertanggungjawab di dalamnya. Kenapa mesti orangtua? Karena orangtua yang bisa mengawasi anaknya lebih lama. Orangtua paling dekat anaknya. Dalam keluargalah anak bertumbuh kembang. Membiarkan anak menonton televisi secara berlebihan berarti membiarkan tumbuh kembang dan pendidikan anak terganggu. Kewajiban orangtua juga untuk memantau kegiatan belajar anak di rumah.

Dalam kesehariaannya, guru di sekolah tidak akan bisa mengantikan peran orangtua. Karena itu menjadi suatu keharusan bagi orangtua untuk tetap memperhatikan si anak selama di rumah. J Drost SJ (2000), seorang ahli pendidikan dari IKIP Sanata Dharma pernah menulis dalam buku Reformasi Pengajaran: Salah Asuhan Orantua?: "Penanaman nilai-nilai dalam pembentukan watak merupakan proses informal. Tidak ada pendidikan formal. Jadi seluruh pembentukan moral manusia muda hanya lewat interaksi informal antara dia dan lingkungan hidup manusia muda itu. Maka pendidik utama adalah orangtua."


ShoutMix chat widget

Pengikut